Beranda | Artikel
Shalat di Pesawat dan Kapal
Selasa, 1 Januari 2013

Kadang shalat tidak bisa tidak dilaksanakan di atas pesawat atau kapal, apalagi jika waktu shalat sempit, tidak mungkin diakhirkan ketika telah sampai di tempat tujuan, dan tidak bisa dijamak dengan shalat sebelum atau sesudahnya. Bagaimana pelaksanaan shalat di pesawat dan kapal terutama dalam masalah menghadap kiblat?

Shalat Wajib, Turun dari Kendaraan

Shalat wajib diperintahkan turun dari kendaraan dan inilah kebiasaan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari no. 400).

Kondisi di kapal dan di pesawat adalah kondisi sulit untuk turun dari kendaraan. Namun jika shalat wajib bisa dikerjakan dengan turun dari kendaraan, maka itu yang diperintahkan. Sehingga jika shalat wajib itu bisa dilakukan dnegan turun dari kendaraan dengan cara dijamak dengan shalat sebelum atau sesudahnya, maka baiknya shalat tersebut dijamak.

Akan tetapi, jika khawatir keluar waktu shalat atau shalat tersebut tidak bisa dijamak, maka tetap yang jadi pilihan adalah shalat wajib tersebut dikerjakan di atas kendaraan. Tidak boleh sama sekali shalat tersebut diakhirkan. Semisal shalat Shubuh yang waktunya sempit, tetap harus dilaksanakan di atas kapal atau pesawat.

Melaksanakan shalat di atas kapal dihukumi sah menurut kesepakatan para ulama karena kapal sudah ada sejak masa silam. Sedangkan mengenai shalat di pesawat tersirat dari perkataan Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu’, beliau berkata, “Shalat seseorang itu sah walau ia berada di atas ranjang di udara.”[1] Sehingga dari perkataan beliau ini diambil hukum bolehnya shalat di atas pesawat.

 

Menghadap Kiblat dan Syarat Shalat

Menghadap kiblat saat shalat wajib termasuk syarat shalat. Adapun dalam shalat sunnah di atas kendaraan bisa jadi gugur menghadap kiblat[2]. Namun tetap disunnahkan ketika takbiratul ihram menghadap kiblat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ وَجَّهَهُ رِكَابُهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersafar dan ingin melaksanakan shalat sunnah lantas beliau mengarahkan kendaraannya ke arah kiblat. Kemudian beliau bertakbir, lalu beliau shalat sesuai arah kendaraannya.” (HR. Abu Daud no. 1225. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Adapun dalam shalat fardhu (shalat wajib), menghadap kiblat merupakan syarat.

 

Menghadap Kiblat Saat Shalat di Kapal dan Pesawat

Dari penjelasan di atas, kita beralih pada masalah menghadap kiblat ketika shalat di kapal atau pesawat. Menghadap kiblat kala itu  tidak lepas dari dua keadaan:

(1) Jika mampu menghadap kiblat karena ada tempat yang luas seperti di kapal, maka wajib menghadap kiblat.

(2) Jika tidak mungkin menghadap kiblat karena tempat yang sempit, maka gugur menghadap kiblat.

Allah Ta’ala berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghabun: 16).

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Dan apa yang diperintahkan bagi kalian, maka lakukanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337).

 

Mengenai Berdiri

Berdiri bagi yang mampu merupakan rukun dalam shalat wajib. Dalilnya adalah hadits dari ‘Imron bin Hushoin yang punya penyakit bawasir, lalu ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai shalatnya, beliau pun bersabda,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring (ke samping).” (HR. Bukhari no. 1117). Jika ketika shalat di pesawat atau kapal berdiri saat itu tidak mampu, maka shalat sambil duduk sebagai gantinya[3].

Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Wallahul muwaffiq.

 

Referensi Utama:

Fiqh An-Nawazil fi Al-‘Ibadah, Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 96-98.

 

* Syaikh Kholid Al Musyaiqih adalah di antara murid Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Beliau saat ini adalah Professor di Jurusan Fikih, Fakultas Syari’ah, Universitas Qoshim Kerajaan Saudi Arabia.


Artikel asli: https://rumaysho.com/3074-shalat-di-pesawat-dan-kapal.html